Jumat, 12 Desember 2014

Hikayat Fadhillah Baca Bismillah

الحكاية الأولى : في فضل البسملة 
حكي : أن امرأة كانت لها زوج منافق وكانت تقول على كل شيئ من قول أو فعل باسم الله ، فقال زوجها لأفعلن ما أخجلها به فدفع إليها صرة وقال لها : احفظيها ، فوضعتها في محل وغطتها فغافلها و أخذ صرة و أخذ ما فيها و رماها في بئر في داره ، ثم طلبها منها ، فجاءت إلى محلها و قالت باسم الله ، فأمر الله تعالى جبريل أن ينزل سريعا و يعيد الصرة إلى مكانها فوضعت يدها لتأخذ فوجدتها كما وضعتها ، فتعجب زوجها و تاب إلى الله تعالى.

Ada seorang perempuan yang mempunyai suami munafik, perempuan itu mempunyai kebiasaan membaca bismillah setiap kali hendak melakukan sesuatu apapun, namun sang suami agaknya tidak berkenan istrinya seperti itu, bahkan sang suami bertekad ada niatan hendak mempermalukan istrinya. Kemudian sang suami memberi sebuah kantong yang berisi emas, dan meminta istrinya untuk menyimpan dan menjaganya, dengan penuh rasa ta'dzim dan patuh pada sang suami akhirnya sang istri menyimpan dan menjaganya lalu dengan membaca bismillah ditaruhlah kantong tersebut di almari dan dikunci rapat -rapat. Karena memang sang suami sudah bertekad dan berniat jahat maka segala upaya apapun dilakukan untuk membuat sang istri lengah. Setelah aksinya berhasil membuat lengah sang istri, diambillah kantong emas tadi dengan diam-diam tanpa sepengetahuan sang istri untuk diambil isinya dan dibuang di dasar sumur dalam rumahnya, dengan pura-pura tidak tahu, sang suami mendatangi sang istri dan menanyakan kembali kantong emas yang telah dititipkan kepada istrinya, kemudian dengan pertolongan Allah, Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk mengambil kantong emas tersebut dan menaruh kembali di almari seperti semula. Akhirnya Istrinya pun bergegas mengambil kantong emas menuju ke lemari dengan membaca
bismillah..
Sungguh terkejut sang suami ketika sang istri membawakan kantong emas titipannya menuju ke
arahnya.
Setelah peristiwa itu, sang suami sadar dan bertaubat kembali ke jalan Allah.
Disarikan dari kitab An-Nawadir karya Ahmad Syihabuddin bin Salamah Al-Qalyuby

Sabtu, 06 Desember 2014

Whudhu' dalam Perspektif Kyai Sahal


A. Pengertian Whudhu'
Setiap hari sabtu dan ahad seperti rutinitas biasa "rihlah li izalatil jahli". Kebetulan pada kesempatan kali ini membahas "ﻓﺼﻞ ﻓﻰﺍﻟﻮﺿﻮﺀ" dari kitab  "ﻓﻴﺾ ﺍﻟﺤﺠﺎ" karya Muhammad Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam al-Hajainy. Dari keterangan kitab tersebut kiyai Sahal memulai dengan definisi "al-wudhu' " itu sendiri yang kemudian dibaginya menjadi beberapa pengertian.
  1. Pertama, al-whudu' bi dhommi al-wawi هو أفعال مخصوصة مفتتحة بالنية Yaitu amal perbuatan tertentu yang diawali dengan niat tertentu pula. 
  2. Kedua, al-whadu' bi fathi al-wawi "ﻫﻮ ﺇﺳﻢ ﻟﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺘﻮﺿﺄ ﺑﻪ" Yaitu nama untuk air yang digunakan berwhudu itu sendiri. 
  3. Ketiga, al-whudu' bi dhommi al-wawi/ al-whadu' bi fathi al-wawi mencakup keduanya. Pendapat yang Ketiga ini, masing-masing mengklaim al-whadhu/al-whudu' untuk memasukkan kedua definisi sebelumnya yaitu baik al-whudu' yang diartikan sebagai amal perbuatan yang disertai niat dan penamaan terhadap air yang digunakan untuk berwhudu itu sendiri. Maka dalam pembahasan ini terdapat tiga pendapat, dan tidak ada kekhususan untuk definisi whadhu' itu sendiri, bahkan kalimat itu hanya diberlakukan berdasarkan menganut wazan fa'uul ﻓﻌﻮﻝ seperti lafadh ﻃﻬﻮﺭ dan ﺳﺤﻮﺭ sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Syeikh Aly bin As-Syaramilisi terhadap Ahmad bin Hamzah Ar-Ramly. Definisi di atas adalah merupakan "ﻣﻌﻘﻮﻝ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ" yaitu pemaknaan berdasarkan logika, hal ini berbeda dengan pendapat imam yang mengatakan bahwa pemaknaan al-whudu' itu adalah bentuk ta'abbudi yang tidak pernah bisa dilogika oleh rasio manusia, dengan alasan bahwa, dalam praktik whudhu' itu hanya mengusap saja, bagaimana mungkin bisa membersihkan (mensucikan). Namun pendapat ini ditolak oleh jumhur ulama' dengan dalih ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﺧﺘﺺ ﺍﻟﺮﺃﺱ ﺑﺎﻟﻤﺴﺢ ﻟﺴﺘﺮﻩ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻓﺎﻛﺘﻔﻰ ﻓﻴﻪ ﺑﺄﺩﻧﻰ ﻃﻬﺎﺭة bahwasanya pengusapan hanya dikhususkan pada kepala saja, karena secara ghalib, kepala biasanya tertutup, maka cukup dengan level terendah dalam bersuci yaitu cukup diusap saja.

B. Maujibu al-whudu'
Setelah membahas definisi whudhu' selanjutnya kyai Sahal membahas hal-hal yang mewajibkan berwhudu
 وموجبه أي سببه الحدث مع القيام إلى نحو الصلاة
Hal yang mewajibkan seseorang berwhudu (sababu al-whudu') yaitu hadats yang disertai dengan niatan untuk mendirikan sholat. Seseorang yang akan mendirikan sholat atau melakukan perbuatan yang membutuhkan wudhu, bila wudhunya telah batal maka dia wajib berwudhu terlebih dahulu.

وقيل القيام فقط وهو الأصح
Ada yang mengatakan bahwa hal yang mewajibkan whudhu' itu hanya ketika akan mendirikan sholat saja, dan ini pendapat yang lebih shohih.

كما صرح به الشرقاوي الحدث فقط بمعنى أنه إذا فعله وقع واجبا سواء أدخل في الصلاة أم لا والقيام إلى الصلاة شرط في فوريته وانقطاع الحدث شرط في صحته
Klaim serupa juga telah dijelaskan oleh imam syarqowy bahwa hal yang mewajibkan whudhu' hanya hadats saja, dalam artian bahwa ketika seseorang menyandang hadats maka secara otomatis wajib untuk berwhudu baginya, tanpa memandang apakah sudah masuk waktunya sholat atau belum, hanya saja menyegerakan mendirikan sholat sebagai syaratnya, sedangkan inqitho'ul hadats (suci dari hadats) merupakan syarat sahnya sholat.

فإن قيل ظاهر قوله تعالى وإذا قمتم إلى الصلاة الآية يوجب الوضوء على كل قائم إلى الصلاة وان لم يحدث 
Jadi apabila ada yang mengatakan dengan melihat dhohirnya ayat "wa idza qumtum ilaa sholati" maka yang diwajibkan whudhu' hanya bagi orang yang hendak mendirikan sholat saja walaupun tidak hadats.

أجيب بأن الإجماع على خلافه كما نقل عن البيضاوي لما روى أنه عليه الصلاة والسلام صلى الصلوات الخمس بوضوء واحد يوم الفتح فقال عمر رضي الله عنه صنعت شيئا لم تكن تصنعه فقال عمدا فعلته 
Namun pernyataan tersebut dijawab oleh kyai sahal bahwa yang disepakati adalah sebaliknya, sebagaimana pendapat yang dinukil dari imam Baidhawy ketika meriwayatkan sebuah hadits, Bahwasanya Nabi pernah melakukan sholat lima waktu pada saat peristiwa fathu makkah hanya dengan sekali whudhu' saja, melihat kejadian itu sahabat Umar Radhiyallahu 'Anhu bertanya kepada Nabi, "duhai Nabi engkau telah melakukan sesuatu (whudhu') yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya" maka nabi menjawab "aku sengaja melakukannya".
فهو مطلق وأريد به التقييد والمعنى إذا قمتم إلى الصلاة محدثين 
Wal hasil, ayat tersebut adalah lafadh mutlaq namun yang dikehendaki adalah lafadh muqayyad, yaitu yang dimaksudkan adalah whudhu' diwajibkan bagi orang hadats yang hendak mendirikan sholat.

C. FURUDHU AL-WUDHU'
  1. Niat : (قوله النية) ini berdasarkan hadist "إنما الأعمال بالنيات" amal perbuatan seseorang itu bergantung pada niatnya, yaitu 'amal yang dianggap oleh syara', adapun tata cara niat sebagaimana yang telah dinukil dari imam Husni apabila orang yang whudhu' (المتوضئ) orang yang sehat jasmani hendaknya niat dalam hati untuk menghilangkan hadats, atau bersuci dari hadats, atau bersuci untuk melaksanakan sholat, atau niat liistibahati as-sholat (niat agar diperkenankan melaksanakan sholat) atau melaksanakan ibadah lain yang tidak diperkenankan melainkan dalam keadaan suci, dan apabila orang yang whudhu' (المتوضئ) adalah anak kecil (صبي) atau orang yang ingin memperbarui whudhu'nya (مجدد) maka hendaknya berniat untuk melakukan fardhunya whudhu', atau niat untuk melaksanakan whudhu'. Adapun orang yang dalam kondisi terpaksa (صاحب الضرورة) seperti penderita penyakit beser ataupun penyakit lainya, maka tidak boleh niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats, karena whudhu'nya hanya bersifat diperbolehkan (مبيح) dan tidak menghilangkan hadats, begitupun halnya sebagaimana yang telah diungkapkan oleh imam As-Syaubary tidak diperbolehkan niat untuk menghilangkan hadats atau niat istibahah atau niat bersuci dari hadats, atau niat bersuci untuk melakukan sholat bagi orang yang hendak memperbarui whudhu'nya (مجدد). Bagi (المتوضئ) diwajibkan menghadirkan substansi whudhu' yang terdiri dari beberapa rukun sebagaimana dalam sholat.
  2. Membasuh muka : قوله غسل الوجه 
  3. Membasuh kedua tangan
  4. Mengusap sebagian kepala
  5. Membasuh kedua kaki
  6. Tartib
wallahu 'a'lamu bisshowab
Disarikan dari kitab Faidhul Hija karangan Muhammad Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam al-Hajainy.
ﻭﺁﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺫﻱ ﻋﻠﻢ ﻭﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﺤﻖ