Senin, 01 September 2014

An-naba' dalam Sebuah Mimpi

Beberapa malam yang lalu aku bermimpi, dalam mimpi itu ada seorang anak memintaku untuk dibacakan surat an-naba', tidak hanya cukup disitu, setelah dibacakan dia memintaku untuk ditunjukkan satu ayat yang apabila dibaca membuat seseorang menangis, sembari mencari ayat yang dimaksud, aku baca surat an-naba' mulai ayat pertama sampai terakhir, aku baca dalam hati, bahkan berulang-ulang aku kembali membaca dan membaca dalam hati. Belum sempat aku menunjukkan satu ayat yang dimintanya, terdengar adzan subuh dan aku terjaga dari mimpi. Setelah itu aku bergegas mengambil air wudhu untuk segera menunaikan sholat subuh, karena saking penasarannya, aku bahkan membaca surat an-naba' pada raka'at pertama di subuh itu, namun masih saja teka-teki itu belum terpecahkan dan aku belum menemukan ayat yang dimaksud. Penasaranku semakin menjadi-jadi, dalam pikirku ada tanya "sebetulnya ada apa?" teguran apa sebenarnya ini? Hal ini pula yang membuatku termotivasi untuk mencari jawaban dari mimpi itu, setelah sholat subuh aku mencoba membuka kitab tafsir jalalain yang tertata rapi di almari dan memang sudah lama aku tak pernah menyentuhnya pasca boyongan (pulang) dari pesantren.

Secara bahasa Dilihat dari namanya " an-naba' " (berita besar), berita besar yang di maksudkan sebagaimana penelusuranku dalam beberapa kitab tafsir adalah berita tentang datangnya hari kiamat, atau masih banyak sebutan serupa sebagai nama lain dari hari akhir, seperti yaumul hasyr, yaumul hisab, yaumul jaza' dan sebutan-sebutan lain yang tercantum dalam al-quran. Dan pada akhirnya aku mengambil kesimpulan, walaupun sebenarnya aku masih belum yakin apa memang benar itu yang dimaksudkan atau bukan, yaitu satu ayat dikahir surat ini, yang kurang lebih isinya adalah sebuah seruan, ancaman, dan peringatan dari Tuhan atas hambaNya yang membangkang. Sayangnya kebanyakan dari kita yang tak pernah mempedulikanya dan bahkan mengabaikanya “Ingatlah! Sadarilah! Lihatlah! Perhatikanlah! Pikirkanlah! Renungkanlah bahwa di sana ada Tuhan, di sana ada pengaturan, di sana ada takdir, di sana ada ketentuan, di sana ada ujian, di sana ada tanggung jawab, di sana ada per­hitungan, di sana ada pembalasan, dan di sana ada azab yang pedih dan nikmat yang besar, Ingatlah, sadarilah, lihatlah, perhatikanlah, pikirkanlah, renungkanlah.

Hari yang Pasti Terjadi

Sikap orang-orang yang didekatkan kepada Allah, yang bersih dari dosa-dosa dan kemaksiatan ini ada­lah diam tanpa berkata-kata sedikit pun kecuali de­ngan adanya izin dari Allah dan dengan perhitungan. Suasananya dipenuhi dengan ketakutan, kesedihan, keagungan, dan ketundukan. Di bawah bayang-­bayang pemandangan ini terdengarlah seruan yang berisi peringatan dan mengguncang orang-orang yang tertidur dan mabuk kepalang ,

“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka, barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) dengan siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah. ” (An ­Naba’: 39-40)

Inilah guncangan keras terhadap mereka yang hatinya dipenuhi keraguan dan selalu mempertanyakan “hari yang Pasti terjadi” itu. Maka, tidak ada pe­luang untuk mempertanyakan dan memperselisih­kannya. Selagi masih ada kesempatan, “maka barang­siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada, Tuhannya “sebelum neraka Jahannam mengintai nya dan menjadi tempat kembalinya.

Inilah peringatan untuk menyadarkan orang­-orang yang mabuk kepalang, “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu siksa yang dekat”. Maka, Jahannam itu senantiasa menantikan dan mengintaimu seperti yang kamu ketahui. Dunia ini secara keseluruhan adalah perjalanan yang pendek dan usia yang singkat!

Inilah azab yang mengerikan dan menakutkan, sehingga orang kafir lebih memilih hilang eksistensinya daripada masih berwujud,

"Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alang­kah baiknya sekiranya aku dahulu hanyalah tanah. ” (An ­Naba’: 40)

Tidaklah orang berkata seperti ini kecuali dia ber­ada dalam kesempitan dan kesedihan yang sangat. Ini adalah kalimat yang memberikan bayang-­bayang ketakutan dan penyesalan. Sehingga, ia be­rangan-angan untuk tidak pernah menjadi manusia, dan menjadi unsur yang diabaikan dan disia-siakan (tak diperhitungkan). la melihat bahwa yang demi kian itu lebih ringan daripada menghadapi keadaan yang menakutkan dan mengerikan. Ini suatu sikap yang bertolak belakang dengan keadaan ketika mereka mempertanyakan dan meragukan berita besar tersebut!!!  Allahu a’lam